SUBJEK DAN OBJEK PAJAK

Pajak-640x419

  1. Subjek Pajak

Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif.

Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum. Sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dapat menjadi subjek pajak. Demikian juga orang gila, anak yang masih di bawah umur dapat menjadi subjek atau wajib pajak, tetapi untuk mereka perlu ditunjuk orang atau wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya.

  1. Subjek Pajak dari PPh (Pajak Penghasilan)

Secara umum pengertian subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. Secara praktik termasuk dalam pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Subjek pajak tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

1)   Orang Pribadi dan Warisan yang Belum Terbagi sebagai Satu Kesatuan Menggantikan yang Berhak

Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak melihat batasan dan juga jenjang sosial ekonomi, dengan kata lain berlaku sama untuk semua (nondicrimination).

Dalam hal ini, Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan ahli warisan tersebut dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilakasanakan, demikian juga dengan tindakan penagihan selanjutnya.

2)   Badan

Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha atau tidak melakukan usaha.

3)   Bentuk Usaha Tetap

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertepat tinggal di Indonesia atau berada berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam dalam jangka waktu 12 bulan, atau juga badan yang didirkan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Subjek PPh dibedakan antara Subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

1)   Subjek pajak dalam negeri

Subjek pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang secara fisik memang berada atau bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia.

  1. a)   Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
  2. b)   Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
  3. c)   Warisan yang belum terbagi menggantikan yang berhak.

2)   Subjek pajak luar negeri

  1. a)   Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  2. b)   Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subjek pajak dalam negeri akan menjadi pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau di peroleh melalui BUT Indonesia.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :

1)        Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

2)        Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.

3)        Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib memberitahukan Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Sebagaimana diketahui bahwa pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tidak dilimpahkan kepada subjek lainnya. Oleh karenanya, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting sebagaimana diatur dalam Pasal 2 A UU PPh, yaitu sebagai berikut :

1)        Bagi Subjek pajak orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat lahirkan, berakhir saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

2)        Bagi subjek pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir saat di bubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.

3)        Bagi subjek pajak orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia, dimulai saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dan berakhir saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.

4)        Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau memperoleh penghasilan melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dimulai saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

5)        Untuk warisan yang belum terbagi, maka kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat timbulnya warisan, yaitu pada saat pewaris meninggal dunia, Warisan yang belum terbagi baru menjadi wajib pajak apabila warisan tersebut mengeluarkan penghasilan Dan berakhirnya pajak warisan tersebut setelah warisan selesai dibagi.

Berikut ini adalah Undang-undang tentang Pajak Penghasilan (PPh).

1)        PPh pasal 21

Subyek PPh 21 adalah penerima penghasilan yang dipotong oleh :

  1. a)   Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oeh pegawai atau bukan pegawai.
  2. b)   Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium tunjangan dan pembayara lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
  3. c)   Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pension dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun.
  4. d)  Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
  5. e)   Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanan suatu kegiatan

2)        PPh Pasal 23

Subjek pajak PPh 23 adalah Wajib Pajak dalam Negeri atau bentuk usaha tetap. Adapun objek pajak PPh 23 yang dipotong pajak oleh pihak yang membayarkan adalah :

  1. a)        Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :

(1)     Dividen

(2)     Bunga

(3)     Royalti

(4)     Hadiah

  1. b)        Sebesar 2% (dua pesen) dari jumlah bruto atas :

(1)     Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan.

(2)     Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan.

Sedangkan yang bukan termasuk objek Pajak PPh 23 adalah :

  1. a)        Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
  2. b)        Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
  3. c)        Dividen yang diterima oleh orang pribadi.
  4. d)       Bagian laba.
  5. e)        Sisa hasil usaha kioperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
  6. f)         Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan peraturan Menteri Keuangan.

3)        PPh Pasal 26

Subjek pajak PPh 26 adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

Adapun objek pajak PPh 26 yang dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan adalah :

  1. a)        Dividen
  2. b)        Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
  3. c)        Royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
  4. d)       Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
  5. e)        Hadiah dan penghargaan
  6. f)         Pension dan pembayaran berkala lainnya
  7. g)        Premi swap san transaksi lindung nilai lainnya, dan/ atau
  8. h)        Keuntungan karena pembebasan utang.

4)         PPh Pasal 4 ayat 2

Objek PPh yang dapat dikenai pajak bersifat final adalah :

  1. a)        Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
  2. b)        Penghasilan berupa haiah undian.
  3. c)        Penghasilan dari tansaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
  4. d)       Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
  5. Subyek Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPN-PPnBM)

1)        Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Subyek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.

Berdasarkan PP No. 22 Tahun 1985, PP No.28 Tahun 1988 serta PP No. 75 Tahun 1991 yang dapat disebutkan beberapa contoh yang termasuk pengusaha kena pajak sebagai subjek PPN yaitu :

  1. a)    Pabrikan
  2. b)   Importir
  3. c)    Indentor
  4. d)   Agen utama atau penyalur utama
  5. e)    Pengusaha pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang Barang Kena Pajak.
  6. f)    Pedagang besar
  7. g)   Eksportir
  8. h)   Pedagang eceran beras
  9. i)     Pemborong atau Kontraktor
  10. j)     Pengusaha jasa bidang komunikasi
  11. k)   Pengusaha jasa angkatan udara dalam negeri
  12. l)     Pengusaha lain yang ditetapkan oleh direktur jendral pajak

2)      Subyek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Subyek Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dan pengusaha yang mengimpor barang yang tergolong mewah.

  1. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai kewajiban untuk melunasi PBB sesuai dengan ketentuan UU PBB. Subjek PBB baru akan melunasi utang PBB apabila subjek PBB tersebut secara nyata mempunyai hak atas bumi dan bangunan dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan. Hak-hak atas bumi dan bangunan dalam PBB adalah mengacu pada ketentuan Undang-undang Agraria yaitu : Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.

Berikut ini beberapa contoh subjek wajib pajak yang harus melunasi pajak karena status kepemilikan objek yang tidak jelas.

1)   Subjek pajak bernama A memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunan milik orang lain bernama S bukan karena suatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunana tersebut akan ditetapkan sebagai wajib pajak.

2)   Suatu objek pajak ternyata masih dalam suatu sengketa kepemilikan dipengadilan maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut yang akan ditetapkan sebagai waib pajak.

3)   Subjek pajak dalam waktu lama berada diluar wilayah letak objek pajak, sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut telah dikuasakan kepada orang lain, maka orang atau badan yang diberi kuasa akan ditunjuk sebagai wajib pajak.

Bila subjek pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak merasa bahwa penetapan tersebut tidak benar, subjek pajak dapat mengajukan keberatan dengan memberikan keterangan secara tertulis bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.

  1. Subyek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Subyek  pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

  1. Objek Pajak
  1. Objek Pajak Penghasilan (PPh)

Objek PPh adalah penghasilan itu sendiri. Penghasilan sebagai objek pajak PPh diartikan secara luas yaitu “ setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Menurut ketentuan UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diperbaharui oleh UU No. 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 1 yang termasuk dalam penghasilan adalah :

1)        Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

2)        Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.

3)        Laba usaha.

4)        Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.

5)        Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.

6)        Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

7)        Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen daari asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

8)        Royalty atau imbalan atas penggunaan hak.

9)        Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

10)    Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

11)    Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

12)    Keuntungan selisih kurs mata uang asing.

13)    Karena penilaian kembali aktiva

14)    Premi asuransiIuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari

15)    anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

16)    Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

17)    Penghasilan dari usaha berbasis syariah,

18)    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengtur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan,

19)    Surplus Bank Indonesia.

  1. Objek pajak PPN

Objek pajak PPN sesuai dengan pasal 4 UU No. 8 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 18 tahun 2000 adalah :

1)   Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha dengan syarat :

  1. a)    Barang berwujud atau tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak
  2. b)   Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean
  3. c)    Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2)   Impor barang kena pajak

3)   Penyeraan barang kena pajak yang dilakuka di dalam daerah pabean oleh pengusaha dalam syarat :

  1. a)    Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak,
  2. b)   Penyerahan yang dilakukan harus di dalam daerah pabean,
  3. c)    Penyerahan yang dilakukan harus dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

4)   Pemanfaatan barang kena pajak tidak brwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean

5)   Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

6)   Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

7)   Objek PPN sesuai dengan pasal 16 c UU No. 8 tahun 1984 sebagaimana telaha diuah terakhir dengan UU No. 18 tahun 2000 yaitu, kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, oleh orang pribadi atau badan, baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau pihak lain.

8)   Objek PPN berdasar pasal 16 D UU No. 8 tahun 1984 yang sebagaimana telah diubah terakhir degan UU No. 18 tahun 2000 yaitu, penyerahan aktiva oleh pengusaha kena pajak yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

  1. Objek Pajak PPn BM

Menurut pasal 5 UU No. 8 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 18 tahun 2000 yang termasuk objek PPn BM adalah :

1)   Penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh penguasaha yang mengasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2)   Impor barang yang kena pajak yang tergolong mewah.

  1. Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Dalam Pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Pengertian bumi disini adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman, serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Sementara itu, bangunan adalah konstruksi teknik yang ditananm atau dilekatkan secara tetap pada tansh atau perairan.

Termasuk dalam bangunan yang dapat dikenakan pajak adalah :

1)   Bangunan tempat tinggal (rumah)

2)   Gedung kantor

3)   Hotel

4)   Pabrik

5)   Emplasemen dan lain-lain

Semua ini merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut di atas, seperti :

1)   Jalan lingkungan pabrik dan emplasemennya

2)   Hotel

3)   Kolam renang

4)   Tempat penampungan/kilang minyak, air, dan gas, juga pipa minyak, fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Sedangkan objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :

1)   Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, social, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

2)   Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.

3)   Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak.

4)   Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

5)   Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

  1. Objek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi :

1)    Pemindahan hak karena :

  1. a)    Jual beli
  2. b)    Tukar menukar
  3. c)    Hibah
  4. d)   Hibah wasiat
  5. e)    Waris
  6. f)     Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
  7. g)    Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
  8. h)    Penunjukan pembeli dalam lelang
  9. i)      Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
  10. j)      Penggabungan usaha
  11. k)    Peleburan usaha
  12. l)      Pemekaran usaha
  13. m)  Hadiah.

2)   Pemberian hak baru karena :

  1. a)    Kelanjutan pelepasan hak
  2. b)   Di luar pelepasan hak

Adapun yang dimaksud hak atas tanah diantaranya adalah :

1)    Hak milik

2)    Hak guna usaha

3)    Hak guna bangunan

4)    Hak pakai,

5)    Hak milik atas satuan rumah susun

6)    Hak pengelolaan.

Sedangkan objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :

1)   Perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik

2)   Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum

3)   Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut

4)   Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama

5)   Orang pribadi atau badan karena wakaf

6)   Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

  1. Objek pajak Bea Materai

Dokumen yang dikenakan bea materai adalah :

1)   Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata.

2)   Akta-akta notaris termasuk salinannya

3)   Akta-akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah termasuk rangkap-rangkapnya

4)   Surat yang memuat jumlah uang, yaitu :

  1. a)    Yang menyebutkan penerimaan uang
  2. b)   Yang menyarankan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank
  3. c)    Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
  4. d)   Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.

5)   Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek

6)   Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannnya jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula.

Sedangkan yang tidak dikenakan Bea Materai adalah :

1)    Dokumen yang berupa :

  1. a)    Surat penyimpanan barang
  2. b)   Konosemen
  3. c)    Surat angkutan penumpang dan barang
  4. d)   Keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3
  5. e)    Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
  6. f)    Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengiriman
  7. g)   Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai angka 6.

2)    Segala bentuk ijazah

3)    Tanda terima gaji, uang tunggu, pension, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu

4)    Tanda bukti penerimaan Uang Negara dari kas Negara, kas Pemerintah Daerah dan Bank

5)    Kuiansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas Negara, kas Pemerintah Daerah dan Bank

6)    Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi

7)    Dokumen yang menyebutkan tabungan pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank koperasi dan badan-badan dan lainya yang bergerak di bidang tersebut

8)    Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian

  1. TARIF PAJAK

Salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak bagi wajib pajak adalah tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak. Besarnya tarif dalam undang-undang pajak tidak selalu ditentukan secara nilai persentase tetapi bisa dengan nilai nominal, seperti diuraikan di bawah ini macam-macam tarif pajak.

  1. Tarif Progresif

Adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.

Contoh :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Untuk penghasilan s/d Rp. 25.000.000

Di atas Rp. 25.000.000 s/d Rp. 50.000.000

Di atas Rp. 50.000.000 s/d Rp. 100.000.000

Di atas Rp. 100.000.000 s/d Rp. 200.000.000

Di atas Rp. 200.000.000 35%

5%

10%

15%

25%

35%

  1. Tarif Degresif

Adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Sekalipun persentasenya semakin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar. Tarif ini tidak pernah dipergunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan.

Contoh :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Untuk penghasilan s/d Rp. 10.000.000

Di atas Rp. 10.000.000 s/d Rp. 50.000.000

Di atas Rp. 50.000.000

30%

25%

15%

  1. Tarif Proporsional

Adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar).

Contoh :

  1. Untuk PPN terhadap barang kena pajak dikenakan tarif 10%

Jumlah Penjualan Tarif

Rp. 500.000,- 10%

Rp. 1.000.000,- 10%

Rp. 5.000.000,- 10%

Rp. 10.000.000,- 10%

  1. Untuk PBB mengunakan tarif 0.5%
  2. Untuk BPHTB menggunakan tarif 5%
  1. Tarif Tetap

Adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM). Dalam undang-undang Bea Materai, tarif digunakan adalah Bea Materai dengan nilai nominal sebesar Rp 500 dan Rp 1.000. Nilai nominal dalam perkembangannya selalu berubah-ubah. Berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1995 tarif Bea Materai diatas dinaikkan menjadi Rp 1.000 dan Rp 2.000 yang selanjutnya dengan PP Nomor 24 Tahun 2000 tarifnya dinaikkan lagi menjadi Rp 3.000 dan 6.000.

  1. Tarif Advalorem

Adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.

Contoh :

Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dengan besaran tarif menggunakan prosentase.

  1. Tarif Spesifik

Adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.

Contoh:
Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dengan besaran tarif menggunakan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.

  1. UTANG PAJAK

Pajak yang terutang adalah pajak yang terutang pada suatu saat, masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan, sedangkan Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi adminsitrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang menjadi dasar penagihan pajak adalah Utang Pajak.

  1. Pengertian Utang Pajak

Utang pajak adalah pajak yang harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejesisnya berdasarka peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang pajak akan timbul sesudah fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Akan tetapi prinsip tersebut tidak mutlak. Utang pajak dapat timbul apabila keadaan si wajib pajak menjadikan wajib pajak mempunyai Utang pajak sesuai dengan undang-undang. Sebagai contoh, misal si A adalah seorang wajib pajak. Dia telah betempat tinggal atau berada di daerah Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan si A telah memiliki penghasilan melebihi PTKP. Dalam keadaan tersebut, maka secara otomatis akan timbul Utang pajak bagi si A tanpa harus menunggu fiskus menerbitkan SKP kepada A.

  1. Timbulnya Utang Pajak

Utang pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasar pemungutannya telah ada dan telah dipenuhi syarat-syarat subjek dan objektifnya, yang ditentukan oleh undang-undang secara bersama (simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila keadaan yang nyata yang disebut oleh Undang-undang dipenuhi, keadaan ini berupa :

  1. Perbuatan
  2. Keadaan
  3. Peristiwa

Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang menentukan dalam :

  1. Pembayaran/penagihan pajak
  2. Memasukkan surat keberatan
  3. Penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa
  4. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Utang Pajak adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh masyarakat (khususnya Wajib Pajak) akibat adanya keadaan, perbuatan, atau peristiwa, yang harus dilunasi dengan mekanisme yang berlaku dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Pengertian hutang pajak ini diatur di beberapa peraturan perundang – undangan, seperti Undang – undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Menurut Pasal 1 point 8 Undang – Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa tersebut, yang dimaksud dengan “Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi adminisirasi berupa bunga. denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak aiau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundangundanganperpajakan. (Undang-Undang Pajak Tahun 2000, 2001:2 12).

Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya peraturan yang mendasarmya dan telah terpenuhinya atau terjadi suatu Taatbestand (sasaran perpajakan), yang terdiri dari : keadaan-keadaan tertentu, peristiwa, dan atau perbuatan tertentu. Tetapi yang sering terjadi ialah karena keadaan, seperti pajak-pajak yang sangat penting yaitu atas suatu penghasilan atau kekayaan, dikenakan atas keadaan-keadaan ekonomis Wajib Pajak yang bersangkutan walaupun keadaan itu dalam kebanyakan hal timbulnya karena perbuatan-perbuatannya. Tapi keadaan wajib pajak yang menimbulkan hutang pajak itu sendiri. Adanya hutang pajak berhubungan dengan adanya kewajiban masyarakat kepada Negara berdasarkan Undang-undang.

Dalam hutang pajak ini memiliki beberapa sifat, antara lain :

  1. Jumlahnya sudah ditetapkan baik oleh masyarakat atau Fiskus;
  2. Ditetapkan jangka waktu pelunasannya;
  3. Jika terlambat bayar/kurang bayar, berakibat dikenakan sanksi;
  4. Dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.

Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 (dua) ajaran yang mengatur tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu:

  1. Ajaran Formil,

Yaitu hutang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System.

Contoh :

Hutang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Jadi, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP nya.

  1. Ajaran Materil

Yaitu utang pajak timbul karena berlakunya undang – undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System.

Contohnya :

Syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut Undang – Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena sasaran perpajakan, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa  yang dapat menimbulkan utang pajak.

  1. Cara Pengenaan Utang Pajak

Setelah diketahui timbulnya utang pajak sebagaimana dijelaskan dimuka, selanjutnya bagaimana cara pengenaan terhadap utang pajak tersebut dapat dilakukan. Menurut teori ada 3 (tiga) cara pengenaan pajak dapat dilakukan, yaitu : cara penggunaan di depan (stelsel fiksi), cara pengenaan riil (stelsel riil), pengenaan cara campuran.

  1. Pengenaan di Depan (Stelsel Fiksi)

Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut tergantung pada ketentuan bunyi undang-undang. Misalnya penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan. Yang seharusnya menjadi dasar pendapatan besarnya hutang pajak pada tahun berjalan yang seharusnya menjasi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan adanya anggapan demikian, maka fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang.

  1. Pengenaan di Belakang (Stelsel Riil)

Pengenaan di Belakang merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena besarnya penghasilan yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnyasuatu tahun pajak. Dengan demikian, utang pajak baru akan dikenakan di belakang yaitu sesudah berakhir tahun pajak bersangkutan.

  1. Pengenaan Cara Campuran

Pengenaan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak diatas (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak, fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam undang-undang, yang selanjutnya setelah berakhir tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prinsipnya mendasarkan pengenaan pajak dengan cara campuran ini.

  1. Sifat Utang Pajak

Beberapa sifat dari utang pajak adalah :

  1. Dapat dipaksakan

Artinya sebagaimana sifat dari pajak yakni pungutannya dapat dipaksakan, pengertiannya adalah bahwa pemaksaan tersebut di lakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi utang pajak yang tidak dibayar oleh penanggung pajak pada waktu yang telah ditentukan (saat jatuh tempo), penagihannya dapat dilakukan dengan cara paksa melalui “Surat Paksa” (SP, Surat Perintah melaksanakan penyitaan (SPMP), dan pelelangan harta penanggung pajak melalui kantor Lelang Negara, berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa ( UU No.19/1997 yang telah dan ditambah terakhir dengan UU No.19/2000).

  1. Dapat menunjuk orang lain untuk ikut membayarnya

Dalam hal ini pengertiannya adalah bahwa utang pajak yang seharusnya ditanggung oleh Wajib Pajak, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan penagihan pajak, dapat menunjuk pihak lain yang ada hubungannya dengan wajib pajak tersebut. Yang dimaksud dengan pihak lain tersebut adalah :

1)   Badan pengurus dan atau orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

2)   Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang pribadi atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan.

3)   Suatu warisan yang belum terbagi, oleh seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau pengurus harta peninggalannya.

4)   Anak belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampunan oleh wali atau pengampunannya.

5)   Kuasa yang ditunjuk secara khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Dapat Ditagih Seketika

Kasus – kasus yang dapat dipakai alasan penagihan pajak seketika dan sekaligus yaitu :

1)   Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.

2)   Penanggung pajak menghentikan secara nyata, mengecilkan kegiatannya di Indonesia, ataupun memindahkan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau dikuasainya.

3)   Pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit ataupun penyitaan harta Penanggung pajak oleh pihak lain.

4)   Perusahaan dibubarkan oleh pemerintah.

  1. Mempunyai Hak Mendahulu Terhadap Hutang yang Lain

Maksudnya yaitu Negara melalui utang pajak memiliki hak mendahulu (preferen) untuk tagihan pajak atsa barang-barang milik penanggung pajak, di ats utang-utang yang lain. Dalam hal ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :

1)   Pengertian utang pajak di sini adalah meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan.

2)   Hak mendahulu meliputi harta wajib pajak dan penanggung pajak.

3)   Saat hak mendahulu adalah pada saat penjualan melalui sita lelang, bukan pada saat penyitaan.

Jangka waktu hak mendahulu tersebut adalah dua tahun sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak atau apabila telah ada penagihan dengan Surat Paksa maka dua tahun tersebut dihitung sejak diberitahukannya Surat Paksa.

  1. Dapat dilakukan pencegahan atau penyanderaan terhadap penanggung pajak.

Surat paksa adalah bersifat eksekutoriol, yaitu dapat dilaksanakaneksekusi tanpa adanya putusan hakim. Eksekusi ini dapat dilaksanakan pada harta dan juga fisik Penanggung Pajak. Eksekusi ini dapat dilakukan pada seorang atau seluruh penanggung pajak.

Yang dimaksud dengan fisik yaitu :

1)   Pencegahan adalah langkah sementara (selama-lamanya enam bulan dan dapat diperpanjang selama enam bulan lagi) terhadap penanggung jawab tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2)   Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu (tempat penyanderaan). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan tindakan pencegahan dan penyanderaan adalah :

  1. a)    Utang pajak paling sedikit adalah Rp 100.000,-
  2. b)   Diragukan itikad baiknya dalam pelunasan hutang pajak.
  3. c)    Surat Keputusan Pencegahan diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau Atasan Pejabat (Kepala KPP/Kepala KP.PBB/Kepala Dinas Pendapatan Daerah/Kanwil?dirjen Pajak/Bupati/Walikota).
  4. d)   Surat Keputusan Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP/Kepala KP.PBB/Kepala Dinas Pendapatan Daerah) atas izin Menteri Keuangan atau Gubernur (untuk pajak-pajak daerah).
  1. Penagihan Utang Pajak

Penagihan Utang pajak adalah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak bila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Untuk itu, apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, maka akan dilakukan tindakan penagihan pajak dengan cara sebagai berikut :

  1. Surat Teguran

Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran.

  1. Surat Paksa

Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, akan diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00. Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak

  1. Surat Sita

Jika utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, maka Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 75.000,00.

  1. Lelang

Apabila dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi, maka akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita yang belum dibayar akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.

  1. Berakhirnya Utang Pajak

Utang pajak dapat berakhir karena hal-hal berikut ini :

  1. Pembayaran / Pelunasan

Pembayaran / pelunasan pajak dapat dilakukan Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen lain yang dipersamakan. Pembayaran atau pelunasan pajak dapat dilakukan di Kantor Kas Negara, Kantor Pos dan Giro, dan Bank Persepsi. Pembayaran pajak hanya dapat dilakukan dengan uang dan bukan dengan bentuk lainnya.

  1. Kompensasi

Kompensasi dapat dilakukan antara jenis pajak yang berbeda dalam tahun pajak yang sama, misalnya antara kelebihan pembayaran PPh dengan kekurangan pembayaran PPN, ataupun antara jenis pajak yang sama dalam tahun yang berbeda misalnya kelebihan pembayaran PPh tahun lalu dengan kekurangan pembayaran PPh tahun berjalan.

  1. Penghapusan Utang

Penghapusan Utang pajak dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya Wajib Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak-pihak yang berwenang. Utang pajak pada prinsipnya dapat dihapuskan karena tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa alasan seperti yang diatur dalam KepMen Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, yaitu :

1)   Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan.

2)   Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat. Penghapusan Utang pajak melalui proses penghapusan merupakan bentuk keadilan bagi Wajib Pajak yang memang benar-benar mengalami hal tersebut diatas.

3)   Hak untuk melakukan penagihan sudah daluwarsa.

4)   Sebab lain sesuai hasil penelitian, misalnya Wajib Pajak tidak dapat dilakukan lagi atau dokumen tidak dapat dilakukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan sebagainya. Penelitian dilakukan melalui penelitian setempat atau penelitian administrasi baik oleh KPP maupun oleh KPPBB, yang dilakukan secara per jenis Wajib Pajak, per tahun pajak dan per jenis ketetapan.

  1. Daluwarsa

Daluwarsa Utang pajak terjadi karena terlampaunya waktu penetapan pajak (penertiban surat ketetapan pajak) maupun karena lampaunya waktu proses penagihan pajak. Daluwarsa dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus maka diberikan kebebasan batas waktu tertentu untuk penagihan pajak.

Batas daluwarsa yang berlaku saat ini adalah :

1)   Untuk pajak pusat adalah 5 tahun

2)   Untuk pajak daerah adalah 5 tahun

3)   Untuk retribusi daerah adalah 3 tahun

4)   Untuk Wajib Pajak yang terlibat tindak pidana pajak tidak diberikan batas waktu.

  1. Pembebasan

Pembebasan pajak biasanya dilakukan berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Misal dalam rangka meningkatkan penanaman modal maka pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu atau pembebasan pajak di wilayah-wilayah tertentu.

Tinggalkan komentar